Keluarga yang bercerai tentu berdampak terhadap masing-masing
pihak yang bercerai. Dampak yang ditimbulkan akibat perceraian ini lebih
cenderung kepada hal negatif dibandingkan dengan hal positif. Oleh sebab itu, perceraian
bagaimana pun juga tidak diperbolehkan.
Alkitab menuliskan bahwa pernikahan merupakan hal yang
sakral, sebab pada waktu berlangsungnya acara pernikahan di gereja, semua
berjalan dalam suasana ibadah pemberkatan pernikahan. Selain itu, pada waktu
kedua mempelai mengucapkan janji pernikahan untuk selalu setia sehidup semati,
maka mereka tidak hanya mengucapkannya di depan pendeta dan jemaat yang hadir. Mereka saat itu sedang berjanji di hadapan
Tuhan Yesus. Oleh karena itu, ketika ada salah satu pasangan yang melakukan
perceraian, berarti mereka sedang mengingkari janji yang sudah mereka ucapkan
di hadapan Tuhan. Tentu saja hal ini berdosa.
Segala hal
tindakan yang dilakukan apabila itu berdosa di hadapan Tuhan, maka membawa
banyak kerugian yang akan diderita oleh masing-masing pasangan. Saya mencacat
sedikitnya terdapat tujuh kerugian akibat perceraian, yaitu:
Pertama, perceraian mengakibatkan berkat Tuhan dalam kehidupan pasangan yang
bercerai menjadi tersumbat. Sebab perbuatan yang mereka lakukan sudah melanggar
firman Tuhan. Segala perbuatan yang melanggar firman Tuhan adalah dosa dan
mendatangkan kutuk. ”Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN,
Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya,
yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang
kepadamu dan mencapai engkau!” (Ul. 28:18).
Kedua, secara rohani masing-masing pasangan akan kehilangan damai sejahtera yang
dapat berujung kepada kemunduran rohani. Sebab mereka mulai melalaikan nasehat
firman Tuhan terhadap diri mereka. Kehilangan damai sejahtera dan kemunduran
rohani terjadi disebabkan oleh karena mereka mengeraskan hatinya dan lebih
menuruti hawa nafsu kedagingan daripada mentaati firman Tuuhan.
Ketiga, anak meniru orangtuanya. Apabila kedua orangtuanya bercerai, maka ada
kecenderungan anak-anak mereka juga akan bermasalah dengan pernikahan mereka
dalam hal perceraian. Hampir 80% anak-anak dari keluarga yang bercerai akan
mengalami hal yang sama dalam pernikahan mereka.
Keempat, menyebabkan trauma yang sulit disembuhkan. Perceraian tentu akan
menorehkan luka yang dalam pada diri masing-masing pasangan. Luka ini terbawa dalam diri mereka,
termasuk apabila salah satu di antara mereka akan menikah lagi. Sehingga
pernikahan berikutnya pun akan berujung pada perceraian pula.
Kelima, anak-anak menjadi broken home. Anak-anak akan merasa tidak betah di rumah
dan mencari tempat pelarian untuk mendapatkan kasih sayang pengganti kedua
orangtuanya. Sebab orangtua mereka sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Bahayanya,
mereka dapat terjebak pada pergaulan bebas, free seks, merokok, minuman keras,
narkoba, terjerumus dalam perkumpulan pengajaran sesat.
Keenam, secara sosial. Beberapa sahabat, teman, tetangga dan lingkungan
sekitarnya yang dahulu menaruh respek terhadap keluarga ini perlahan-lahan akan
menjauhi pasangan yang bercerai ini.
Ketujuh, kerugian secara finansial. Perceraian tidak hanya berjalan begitu saja,
tanpa mengeluarkan biaya. Kedua belah pihak yang bercerai pasti mengeluarkan
biaya yang cukup besar untuk mengurus perceraian mereka di pengadilan dan
menyewa pengacara. Masing-masing pihak yang bercerai harus menunggu keputusan
pengadilan untuk mensahkan perceraian mereka secara hukum. Selama masa menunggu
ini juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Sebenarnya masih
ada beberapa kerugian lain yang akan diderita oleh masing-masing pihak yang
bercerai. Tentu saja perceraian sangat merugikan suami dan isteri yang
bercerai, anak-anak, keluarga pihak isteri, keluarga pihak suami, para sahabat,
maupun orang-orang yang ada hubungannya dengan mereka.
Oleh karena itu,
hindarilah perceraian. Sebelum pasangan muda-mudi memutuskan untuk menikah,
pikirkanlah secara mendalam apakah mereka siap mengarungi bahtera rumah tangga
bersama-sama. Ada badai dan gelombang persoalan rumah tangga yang menghadang di
depan pernikahan mereka. Apabila merasa ada ketidakcocokan yang dianggap
krusial terhadap pernikahan mereka, maka urungkanlah niat untuk menikah. Lebih
baik putus selama masa pacaran daripada bercerai setelah menikah.
Selain faktor
usia yang sudah memenuhi syarat untuk menikah, serta kepastian penunjang
kebutuhan finansial keluarga, diperlukan juga sikap dewasa dari masing-masing
pasangan. Apabila mereka menikah, maka harus mau menerima diri pasangannya apa
adanya, termasuk berbagai kelemahan fisik dan jiwanya.
Agar keluarga
dapat langgeng hingga maut memisahkan mereka, maka libatkanlah Roh Kudus untuk
turut bekerja dalam rumah tangga tersebut. Mintalah pertolongan Tuhan dalam
memecahkan setiap persoalan keluarga, sehingga konflik-konflik dapat
diselesaikan secara tuntas.
Pdp.
Tony Tedjo, S.Th., M.Th., D.Th (c) adalah Dosen di STT Kharisma, Ketua Asosiasi Penulis Rohani Indonesia (APRI), Ketua School
Of Writing (SOW), Ketua Agape Ministry, Konselor Kristen, Penulis Buku, dapat
dihubungi di 081394401799 atau 08891029556.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar