Motto: "Mencerdaskan, Memberkati, Menjangkau"

Rabu, 18 September 2013

BERKELIMPAHAN ATAU HEDONISME

Hedonisme Dewasa ini orang terjerumus dengan sifat hedonisme, yaitu suatu filosofi pandangan hidup yang beranggapan bahwa seseorang dapat berbahagia apabila mencari dan mendapatkan kebahagiaan sebanyak mungkin, serta sebisa mungkin menghindari hal-hal yang menyakitkan. Kata hedonisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu hedonismos dari akar kata hedone, yang berarti ’kesenangan.’ Para penganut hedonisme memiliki tujuan hidup untuk mendapatkan kesenangan atau kenikmatan bagi tubuhnya. Dengan pemikiran seperti ini, maka manusia rela diperbudak oleh hedonisme, dengan menyerahkan jiwa dan raganya. Bahkan, sebagian orang ”memuja”-nya dan menjadikan hedonisme sebagai ”tuhan”. Contoh nyata terdapat dalam Lukas 12:19 mengenai kisah orang kaya yang bodoh. Dia merasa bahwa telah memiliki harta yang berlimpah-limpah, oleh karena itu hendak dihabiskan dengan makan-minum dan bersenang-senang. Kisah perumpamaan anak yang hilang juga di mana dia lebih menyukai pesta pora, sehingga mengakibatkan hidupnya melarat (Luk. 15:13-14). Kenikmatan atau kesenangan yang diperoleh mereka hanyalah bersifat sementara, dan dapat berubah oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Orang-orang yang memiliki pandangan hidup hedonisme sebenarnya sadar atau tidak disadari, sedang terjerat dan diperbudak oleh dunia ini. Mereka hanya hidup menuruti keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Padahal dunia ini sedang lenyap dengan segala keinginannya (Gal. 2:16-17a). Tuhan tidak pernah menghendaki agar anak-anak-Nya terjerat dan diperbudak oleh dunia ini dan segala kenikmatannya. Yesus sendiri tidak terpikat oleh bujuk rayu iblis yang menggoda-Nya setelah Dia berpuasa 40 hari dan 40 malam. Ketika iblis menawarkan berbagai kenikmatan dan gemerlapnya dunia ini, Yesus menolaknya. Dia malah menghardik iblis (Mat. 4:1, 2, 8, 9, 10). Yesus menang terhadap godaan kenikmatan dan kesenangan dunia. Tuhan tidak mengajarkan agar anak-anak Tuhan hidup hedonisme. ”Berfoya-foya pada siang hari, mereka anggap kenikmatan. Mereka adalah kotoran dan noda, yang mabuk dalam hawa nafsu mereka ...” (2Pet. 2:13b). ”Sebab keinginan daging adalah maut. Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah” (Rom. 8:6a, 8). Ada perbedaan khusus antara hidup berkelimpahan dengan hedonisme. Hidup berkelimpahan itu sesuai dengan firman Tuhan, sedangkan hedonisme bertentangan dengan firman Tuhan. Hidup Berkelimpahan Alkitab mengajarkan bahwa kita yang hidup di dalam Kristus akan diberikan hidup yang berkelimpahan. “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b). Tuhan menjanjikan bahwa kehidupan setiap anak-anak Tuhan yang tetap melekat kepada-Nya akan diberikan hidup yang berkelimpahan. Hidup yang berkelimpahan tidak hanya dipahami secara materi dengan banyaknya kekayaan dan harta benda. Meskipun Alkitab mencatat banyak tokoh Alkitab yang hidupnya kaya raya. Beberapa tokoh Alkitab yang tercatat hidupnya sangat kaya, antara lain: Memiliki harta berlimpah tidaklah berdosa. Allah justru memberkati umat-Nya agar mendapatkan hidup berkelimpahan, supaya mereka menjadi saluran berkat bagi sesama yang memerlukan dan untuk mendukung pekerjaan Tuhan. Alkitab mencatat beberapa tokoh Alkitab yang hidupnya melimpah dengan kekayaan. Para tokoh Alkitab tersebut antara lain: - Abraham. Kejadian 13:2 mencatat bahwa Abraham itu sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya. Belum lagi ditambah dengan budak-budaknya yang banyak. - Ishak. Kejadian 26:12-13 mencatat bahwa Ishak menjadi orang yang sangat kaya. Kekayaan Ishak sangat berlimpah sehingga membuat iri orang Filistin. - Daud. Daud merupakan tokoh Alkitab yang sangat kaya. Selama 40 tahun memerintah sebagai raja atas bangsa Israel dan Yehuda, tentu dia punya harta yang melimpah. Salah satu buktinya adalah sewaktu pengumpulan bahan-bahan untuk membangun Bait Allah yang akan dikerjakan oleh Salomo, anaknya. Alkitab mencatat untuk dana pembangunan Bait Suci saja, Daud telah mengumpulkan 5.000 talenta emas (170.000 kg atau Rp51 milyar), dan 10.000 dirham (80.000 gram atau Rp24 milyar), 10.000 talenta perak (340.000 kg atau Rp68 milyar), 18.000 talenta tembaga (612.000 kg atau Rp61,2 milyar), serta 100.000 talenta besi (3,4 juta kg atau Rp170 milyar) dengan total keseluruhan dari bahan-bahan ini saja sudah mencapai Rp374,2 milyar. Belum lagi ditambah dengan batu permata dan bahan-bahan dari kayu. - Salomo. Salomo merupakan raja paling kaya di dunia. Penghasilannya dalam setahun lebih dari 666 talenta emas atau Rp6.793.200.000. Punya 4.000 kandang kuda dan keretanya, 12.000 orang berkuda, bahkan pada zaman Salomo banyaknya perak sama seperti batu dan banyaknya pohon kayu aras sama seperti pohon ara yang tumbuh di Daerah Bukit (2Taw. 9:13, 14, 25, 26, 27). - Ayub. Ayub merupakan orang terkaya pada zamannya. Ia memiliki 7.000 ekor kambing domba, 500 keledai betina, dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar (Ayub 1:3). Kekayaannya diperkirakan mencapai Rp50 milyar lebih. Hidup yang berkelimpahan itu meliputi sehat, kaya, bahagia, dan selamat. Orang berusaha mendapatkan kesehatan dengan cara berolah raga secara teratur dan menjaga diet tubuh dengan makan suplemen maupun makanan bergizi. Orang berusaha mendapatkan kekayaan dengan bekerja keras bekerja pagi hingga larut malam. Orang juga mencari kebagiaan dengan berbagai cara, seperti: Memiliki isteri lebih dari satu, selalu makan makanan yang mewah, memiliki rumah megah seperti istana, bisnisnya melaju pesat, memiliki anak-anak yang cantik dan ganteng, serta hal lainnya. Namun, bila seseorang sudah memiliki kesehatan, kekayaan, hidupnya bahagia, belum tentu akan selamat di kehidupan sesudah kematian nanti. Itulah sebabnya, setiap orang pasti memerlukan keselamatan. Keselamatan tidak dapat diperoleh dengan cara apapun atas usaha sendiri, melainkan hanya karena anugerah Tuhan Yesus semata. Di mana keselamatan diberikan secara cuma-cuma bagi mereka yang percaya dan menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya. Mental Kelimpahan Orang yang tidak memiliki mental kelimpahan selalu berpikiran untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri alias egois. Yang penting segala kebutuhannya terpenuhi dahulu baru memikirkan orang lain. Orang yang punya mental kelimpahan memiliki rasa puas. Ada banyak orang yang selalu merasa berkekurangan, meski menurut ukuran manusia, orang tersebut sudah memiliki segalanya, tetapi tetap saja dia merasakan kurang puas. Sehingga tidak pernah mau berbagi dengan saudara seiman yang berkekurangan maupun dengan orang-orang lain yang membutuhkan pertolongan. Orang yang sadar bahwa hidupnya berkelimpahan, pasti menyadari bahwa semua kekayaan yang dimiliki olehnya merupakan harta titipan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Sehingga dia tidak menjadi sombong dan takabur. Melainkan tetap rendah hati dan memiliki sikap perduli terhadap sesama. Apabila harta yang dipercayakan Tuhan kepadanya diambil kembali, orang ini tidak akan frustasi dan depresi. Sebab hatinya tidak terikat kepada harta tersebut. Namun sayangnya, ada banyak orang-orang kaya yang hatinya terikat kepada hartanya, sehingga menjadikan harta tersebut sebagai ”tuhan.” Kita harus mengumpulkan harta di sorga (Mat. 6:20). Mengumpulkan harta di sorga berarti kita harus memperbanyak dalam memberikan bantuan terhadap pekerjaan Tuhan, baik terhadap pembangunan gereja, membantu para hamba Tuhan maupun guru-guru sekolah teologi, mendukung pelayanan misi gereja dalam rangka pemberitaan Injil, membantu orang miskin melalui pelayanan diakonia, dan lain sebagainya. Namun di atas semuanya itu, kita harus tetap fokus kepada Tuhan Yesus. Sebab bila kita diberi hidup berkelimpahan itu semua karena Tuhan Yesus sudah menebus dosa-dosa kita di kayu salib dan mengangkat kita menjadi orang merdeka. Kita tidak lagi hidup di dalam kegelapan, tetapi telah dipindahkan kepada terang-Nya yang ajaib. Tuhan Yesus memberkati. *Tony Tedjo, M.Th adalah mahasiswa tingkat akhir program doktoral di Harvest International Theological Seminary (HITS), dosen di STT Kharisma Bandung, penulis buku, ketua redaksi Renungan Kabar Baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar